Rumah tangga yang dibangun di atas pondasi materi, sesungguhnya amatlah rapuh. Sedikit saja ditiup angin, bakal goyah.
Bagi keluarga muda, menghadirkan suasana kemesraan dan keharmonisan bukan sesuatu yang sulit. Sebab, belum banyak problem kehidupan yang ditemui, belum begitu berat beban hidup yang harus dipikul, dan belum banyak batu karang yang menghadang. Sikap saling mencintai, saling menerima dan memahami, baik kelebihan maupun kekurangan pasangan, masih bermekaran di hati. Singkatnya, tiada problem berarti yang berpotensi menggoncang biduk rumah tangga.Namun, seiring bertambahnya usia pernikahan, suasana ’surga’ itu pelan-pelan hilang. Berubah menjadi ’neraka’ yang menyiksa jiwa.
Kondisi seperti ini, terjadi tatkala bahtera rumah tangga telah berlayar mengarungi samudera kehidupan yang sudah jauh. Ini karena rumah tangga itu, adakalanya diliputi curahan kenikmatan, berada dalam kecukupan rezeki, tiada problem yang berarti. Tapi di lain waktu juga merasakan kekurangan dan berbagai problem kehidupan yang mengguncang, yang menuntut kesabaran untuk melaluinya.
Dalam hal ini, tak banyak pasangan yang berhasil dan mengerti
bagaimana cara menciptakan suasana “surgawi” itu. Kalaupun ada yang
mampu, tidak banyak yang mampu melanggengkannya. Suasana keharmonisan
dan kemesraan hanya berlangsung sekejap dan menjadi pudar seiring
berlalunya masa. Suasana surgawi begitu cepat menghilang hanya dalam
hitungan bulan. Padahal, kalau saja setiap pasangan, baik suami maupun
istri mau bersinergi, tak akan ada kata sulit untuk mempertahankan
impian indah itu.
Kebahagiaan adalah hak setiap pasangan. Begitu juga rumah tangga
surgawi, bisa diwujudkan oleh setiap pasangan tanpa harus didukung
dengan kekayaan berlimpah atau jabatan yang mentereng. Rumah tangga
surgawi tidak ‘wajib’ terbangun dari bangunan rumah yang megah, perabot
rumah yang serba mewah, dan hidangan yang serba wah. Keharmonisan
sepanjang masa dapat diwujudkan dalam bahtera rumah tangga, apabila
pilar penting terwujudnya suasana indah itu telah dimiliki oleh
pasangan sejak awal membangun rumah tangga.
Agar rumah tangga mampu mencapai tujuan, tidak kandas di tengah
jalan, maka setiap pasangan dituntut selalu bersikap positif dalam
menghadapi semua realita kehidupan. Baik menyenangkan maupun tidak.
Tentu saja sikap itu hanya bisa dimiliki bila masing-masing pasangan
memiliki pondasi keimanan yang kuat.
Berawal dari yang Baik
Iman adalah pondasi utama dalam membangun keluarga yang sakinah.
Seorang yang beriman menyadari betul, pondasi yang kuat dan kokoh itu
hanya tercipta bila masing-masing pasangan menyandarkan dirinya hanya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).
Oleh Karenanya, ketika seseorang hendak menikah, niat dan motivasi utamanya haruslah karena Allah SWT. Jika tidak, maka pondasi rumah tangga itu sejak awal sudah rapuh, persis seperti rumah laba-laba.
Oleh Karenanya, ketika seseorang hendak menikah, niat dan motivasi utamanya haruslah karena Allah SWT. Jika tidak, maka pondasi rumah tangga itu sejak awal sudah rapuh, persis seperti rumah laba-laba.
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya
rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
(Al-Ankabut [29]: 41).
Dalam membangun rumah tangga, semua gerakan dan tindakan suami dan
istri harus diniatkan untuk mecari ridha Allah SWT, mendapatkan berkah,
dan kasih sayang-Nya. Jika tidak, riak kecil saja bisa menenggelamkan
biduk rumah tangga. Apalagi jika yang datang itu adalah badai besar,
maka hancur leburlah bangunan rumah tangga itu. Betapa banyak keluarga
yang mencita-citakan sebuah bangunan rumah tangga yang sakinah, tapi
justru ujung-ujungnya malah berubah menjadi nestapa, kepedihan dan
kehancuran semata.
Jika kecintaan suami kepada istrinya hanya didorong oleh faktor
kecantikan lahiriah semata, maka cinta model seperti itu akan cepat
luntur dan lentur karena kecantikan fisik itu sendiri semakin berkurang
dimakan usia. Ketika istri mencintai suaminya karena didorong oleh
kekayaan materi semata, maka cinta model seperti itu akan cepat pudar
bahkan berpindah kepada orang lain yang lebih berlimpah materi.
Kasus perceraian yang hampir setiap hari disuguhkan media, baik cetak
maupun elektronik yang menimpa pasangan selebritis adalah bukti nyata.
Bahwa betapa rapuhnya bahtera rumah tangga yang dibangun di atas
pondasi materi duniawi semata. Harta berlimpah dan popularitas yang
mereka banggakan, tiada mampu mengantarkan pada keharmonisan dan
langgengnya biduk rumah tangga. Rumah tangga mereka tenggelam di tengah
samudra kehidupan dan berakhir menyedihkan, perpisahan. Pantaskah kita
mengidolakan mereka dan menjadikan mereka teladan dalam kehidupan?
Dalam mengarungi biduk rumah tangga, riak gelombang adalah sesuatu
yang tidak dapat diingkari, tidak dapat ditolak dan tidak dapat
dihindari. Ia merupakan bagian dari dinamika kehidupan keluarga.
Berbagai badai dan ujian dahsyat pun pernah menimpa keluarga Nabi SAW.
Keluarga Nabi SAW pernah ditimpa kekurangan makanan. Namun, semua itu
mampu beliau lalui dan rumah tangganya tetap lestari sepanjang masa.
Keluarga Nabi SAW telah menjadikan ridha Allah SWT dan kebahagiaan
akhirat sebagai motivasi dan tujuan terakhir dalam hidup berkeluarga.
Contoh lain, suatu ketika Aisyah dan Hafsyah yang diikuti dengan
istri-istri Nabi SAW yang lain berunjuk rasa. Mereka menuntut tambahan
nafkah. Mendapatkan tuntutan sulit itu, Nabi SAW tidak langsung membalas
dengan kemarahan dan emosi. Namun, malah menyodorkan pilihan kepada
istri-istrinya. Nabi SAW membacakan firman Allah SWT:
“Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya,
maka kemarilah supaya aku berikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu
dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya, serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka
sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di
antaramu pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 28-29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar